Sekelompok mantan Terpidana Narkotika di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Narkotika Kelas II-A di Pakem, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), melaporkan penyiksaan dan pelecehan seksual yang mereka alami selama di Lapas. Laporan ini disampaikan ke Ombudsman DIY, Senin, 1/11/2021.
Vincentius Titih Gita Arupadatu, salah seorang mantan narapidana yang juga korban tindakan keji selama di Lapas menuturkan, peristiwa tersebut berupa penganiayaan, diinjak-injak, hingga dipukul memakai kelamin sapi jantan yang sudah keras. Bahkan, ada penyiksaan lainnya berupa kurungan di dalam sel kering selama lima bulan.
“Banyak pelanggaran HAM yang ada di Lapas, seperti penyiksaan terhadap warga binaan,” kata Vincentius usai menyampaikan aduan di kantor ORI DIY, sebagaimana dilansir dari Medcom.id.
Anggota DPR RI dari Yogyakarta, Subardi menilai, peristiwa ini merupakan kejahatan terhadap Hak Asasi Manusia. Ia meminta Kepala Lapas Narkotika Sleman hingga Kepala Kanwil Kementerian Hukum dan HAM DIY bertanggung jawab atas perilaku aparat atau petugas Lapas.
“Saya minta petugas (pelakunya) diperiksa transparan dan diungkap ke publik. Bila benar, mereka harus disanksi yang tegas. Kepala Lapas harus tanggung jawab, Kepala Kanwil juga harus bertindak. Peristiwa se-keji ini akibat lemahnya pengawasan!” tegas wakil rakyat asal Kabupatan Sleman itu, Selasa, (2/11).
Dalam pengakuan korban, mereka menyaksikan tindak pelecehan seksual berupa pemaksaan masturbasi di depan banyak orang menggunakan benda tertentu yang telah dilumuri sambal. Beberapa di antaranya merupakan terpidana yang baru dipindahkan dari tahanan kepolisian.
“Jadi ada timun isinya dibuang, lalu diisi sambal, mereka disuruh untuk masturbasi. Lalu mereka disuruh memakan timunnya,” ucap Vincentius.
Bahkan, jenis hukuman lainnya ada terpidana yang dtelanjangi di hadapan banyak petugas dan disiram air. Ada pula kasus warga binaan meninggal dunia karena pelayanan kesehatan yang buruk.
“Ada penyakit paru, tapi tidak pernah dikeluarin, enggak pernah jemur, obatnya juga telat. Cuma di RS beberapa hari dan balik ke lapas (setelah) dua hari meninggal,” katanya.
Tak hanya Vincentius, korban lainnya bernama Yunan Afandi, mengaku hal serupa. Yunan mengaku sempat dimasukan sel sempit dengan kapasitas lima orang, namun diisi 17 orang. Peristiwa itu membuatnya sempat lumpuh selama dua bulan.
“Dua bulan saya enggak bisa jalan. Saya enggak berani melihat (saat ada) petugas,” kata Yunan yang mengaku dipidana di Lapas Narkotika sejak tahun 2017 hingga 2021. Yunan juga mengatakan penyiksaan yang dialaminya terjadi pada tahun 2021.
Menurut Subardi, segala bentuk kejahatan atas HAM dan perilaku biadab tak bisa ditoleransi. Akibat kejahatan ini, para korban akan merasakan trauma seumur hidup, depresi, hingga serangan mental berkepanjangan.
“Efek trauma dan sakit mental bisa dialami seumur hidup. Mereka para korban, sekalipun terpidana memiliki Hak Asasi yang tidak boleh dilecehkan, apalagi diperlakukan tidak manusiawi,” jelasnya.
Ketua DPW NasDem DIY itu juga mendesak peristiwa ini segera direspon cepat agar tidak berlarut. Kejahatan tersebut bertentangan dengan prinsip HAM dalam UUD 1945, UU Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, dan Peraturan Pemerintah Nomor 31 tahun 1995 tentang Pembinaan Warga Binaan.
Dalam Peraturan Pemerintah 31/1995, tujuan pembinaan adalah untuk meningkatkan kualitas ketaqwaan kepada Tuhan, meningkatkan sikap dan perilaku, serta kesehatan jasmani dan rohani para terpidana.
“Dilihat dari aspek manapun, penyiksaan ini melanggar moral, etika, agama, dan peraturan perundang-undangan. Parahnya, kejadian ini justru terjadi di Lapas, tempat seharusnya terpidana dibina,” tutur Subardi.
Terpisah, Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia DIY Budi Argap Situngkir berjanji akan menindak tegas jika ditemukan pelanggaran di dalam lapas. “Kalau ini ada perlakuan tidak benar kami janji akan kami tindak dengan tegas, tidak ada toleransi,” kata Budi di Lapas Narkotika Yogyakarta, Sleman, DIY, Selasa (2/11). (NK).