Runtuhnya rezim orde baru pada tahun 1998 membuka perbaikan demokrasi melalui pendirian partai-partai politik. Pertumbuhan partai politik turut berdampak pada akses hak politik warga yang lebih luas sebagai bagian dari reformasi politik. Demikian disampaikan Anggota MPR RI Subardi saat sosialisasi 4 Pilar Bangsa di Gunungkidul, DIY, Rabu (23/4/2025).
Menurut Subardi, runtuhnya rezim Orde Baru di Indonesia yang diikuti pertumbuhan partai politik adalah fenomena luar biasa. Parpol tumbuh pesat dalam setiap edisi Pemilu pasca reformasi, seperti pada pemilu 1999 dan 2004 yang diikuti 48 dan 24 parpol, pemilu 2009 dan 2014 yang diikuti 38 dan 12 parpol, dan pemilu 2019 dan 2024 yang diikuti 14 dan 18 parpol. Subardi mengatakan, sistem multi partai di Indonesia sudah bagus tetapi perlu diikuti dengan pertumbuhan literasi politik.
“Idealnya reformasi politik diikuti dengan pertumbuhan literasi politik. masyarakat harus terus melek politik. Banyaknya parpol memang diperlukan untuk menampung preferensi politik masyarakat. tetapi saat ini, setelah 6 kali pemilu, kita ingin akses politik tersebut lebih kuat, lebih dari sekedar partisipasi dalam pemilu,” kata Subardi.
Merujuk kepada Pasal 1 ayat (2) UUD 1945, Subardi mengatakan desain demokrasi Indonesia adalah demokrasi konstitusional. Artinya, pelaksanaan kedaulatan rakyat dilaksanakan berdasarkan konstitusi dan mendapat jaminan dari konstitusi. Garansi hak tersebut haruslah dimanfaatkan masyarakat untuk mengontrol penuh jalannya pemerintahan.
“Legitimasi yang diberikan kepada pemerintah tidak selesai setelah pemilu. Fungsi kontrol melalui parpol, melalui media, organisasi, maupun saluran demokrasi lainnya tidak boleh lemah, bahaya bagi demokrasi,” ujar Ketua DPW NasDem DIY itu.
Fenomena kontrol atas pemerintah memang naik turun seiring berbagai peristiwa yang terjadi. Subardi mencontohkan batalnya RUU Pilkada pada Agustus 2024 setelah muncul berbagai aksi protes. Penolakan masyarakat atas RUU yang tengah dibahas di DPR adalah bentuk penggunaan hak politik yang benar.
“Kita lihat bagaimana gelombang protes mampu membatalkan RUU Pilkada di tahun 2024. Pemerintah benar-benar diawasi. Ini bagus untuk autokritik pemerintah dan parpol,” ujarnya.
Sebelumnya pada 22 Agustus 2024 DPR memutuskan menghentikan pembahasan RUU Pilkada dan menggunakan putusan MK untuk pendaftaran Pilkada pada 27 Agustus 2024. RUU tersebut sebelumnya dikebut untuk menganulir putusan MK yang ditengarai memberi kelonggaran atas syarat pencalonan Pilkada. Fenomena itu membuat parpol dituntut tidak hanya melaksanakan fungsi representasi politik, tetapi harus transparan dan melaksanakan representasi substantif. (NK)